Kamis, 19 Desember 2013

Soekarno dan Hareem Theory

Akhirnya saya menonton film ini juga setelah mengira film ini dilarang beredar. Beberapa hari ini saya membaca begitu banyak resensi film ini. Pro-kontra tentunya tak dapat dihindarkan. Mulai dari yang pro dengan film ini yang mengatakan bahwa kita tidak boleh memaksakan sosok Soekarno yang ada dalam benak kita menjadi apa yang terjewantahkan dalam film, film tidak dapat menggambarkan secara penuh sosok Soekarno. Sebaliknya, pihak yang kontra mengatakan bahwa film ini banyak menghilangkan bagian penting yang harus diceritakan mengenai sosok Soekarno. terlepas dari itu, saya ingin melhat bagaimana sosok-sosok perempuan yang ada dalam film ini. Dua tokoh sentral dalam film ini, Ibu Inggit dan Ibu Fatmawati. Menurut saya, dua tokoh ini sangat luar biasa. mari kita liat satu per satu tokoh ini. Dalam film ini, Ibu Inggit yang berasal dari Jawa Barat, paras ayu, perasa, hormat pada suami, dan penyabar. Saya sangat terkesima dengan kata-kata antara Ibu Inggit dan Soekarno mengenai tanggapan Sjahrir dan Pak Hatta terhadap dirinya yang kurang lebih seperti ini "saya tidak ingin Hatta dan Sjahrir menganggapku menguasai dirimu ataupun menganggap dirimu lebih rendah dari pada dirimu." Di balik pernyataan sikap perasa Ibu Inggit, pernyataan ini adalah ungkapan perempuan yang sangat menghormati suaminya. Bagaimana tidak, beliau sangat peduli posisi suaminya sebagai pemimpin rumah tangga, bukan perebutan siapa yang lebih dominan dibandingkan yang lain. Sosok penyabar, hal ini terlintas saat Ibu Inggit mengetahui bahwa Soekarno jatuh cinta pada Fatmawati. Ia marah tapi cenderung tidak gegabah untuk meminta cerai sebelum terbukti dengan jelas hubungan Soekarno dan Fatmawati. Adegan haru saat Ibu Inggit meminta cerai hanya dapat mengatakan " saya hanya mengantarmu sampai ke gerbang cita-citamu." Penggambaran sempurna untuk sosok perempuan dibalik kekurangan tidak mempunyai dapat memberikan anak. Sosok kedua, Ibu Fatmawati, perempuan asal Bengkulu, keturunan Muhammadiyah, sosok cerdas nan rupawan. kecerdasannya tergambar dari cerita-cerita anak angkat Soekarno mengenai sosok Fatmawati remaja serta dialog antara Soekarno dan Fatmawati berada di tepi pantai. Fatmawati, pemberi semangat handal di saat-saat Soekarno membutuhkan tenaga dalam mencapai Kemerdekaan. Sekali lagi sosok perempuan hebat dibalik kekurangan mencintai suami orang lain dan sifat pencemburunya. Penjelasan saya di atas hanyalah tokoh sentral perempuan dalam film ini, belum termasuk perempuan Belanda yang dipacari Soekarno dan perempuan yang mengucapkan terima kasih pada Soekarno smabil memasukkan kertas dalam saku Pemimpin dan perempuan, Saya jadi teringat dengan Hareem Theory yang pernah diucapkan oleh dosen saya. Hareem Theory mengatakan seorang pemimpin harus mempunyai perempuan yang banyak untuk menjaga objektivitasnya dalam menentukan pilihan. Saya adalah orang yang tidak percaya dengan teori ini karena menurut saya nilai objektivitas dapat terbangun jika nilai yang dianut lelaki dan perempuan homogen sehingga dapat saling melengkapi dalam pengambilan keputusan. terlepas dari itu semua, satu hal yang saya yakini "Di balik lelaki yang sukses, ada perempuan hebat di belakangnya" #Okesip #Wolessss

Kamis, 05 Desember 2013

SURAT RINDU DI TAHUN KETUJUH

Saya memanggilnya Mama. Saya tahu sewaktu kecil saya banyak kemauan dan dia selalu memenuhinya. Itu dulu sekitar dua puluh tahun yang lalu. Sangat berbeda sejak tujuh tahun yang lalu hingga sekarang. Di umurku yang masih labil, ia pergi bukan sementara, tetapi selamanya. Dia tidak meminta apa-apa saat ia pergi, tidak seperti saya sewaktu kecil. Saya bahkan belum mengajaknya untuk menikmati foto bersamaku dengan toga dan jubah sarjana di PTN favorit. Saya bahkan belum pernah membelikan makanan kesukaan dengan gaji yang pernah kuperoleh. Saya bahkan tidak akan pernah memenuhi janjiku untuk mengajaknya jalan-jalan keluar pulau Sulawesi. Dia pergi tujuh tahun yang lalu. Ya,, tujuh tahun yang lalu, menguburkan dua kali angan-anganku berfoto dengannya dengan toga sarjanaku. Ya, tujuh tahun yang lalu, menguburkan angan-anganku berangkat bersamanya ke destinasi impian kita berdua. Ya,, tujuh tahun yang lalu, menguburkan angan-anganku mengajaknya jajan di tempat makan yang kujanjikan akan kami datangi setelah saya bekerja. Ditambah lagi dia tidak akan menemaniku suatu saat dimana saya berada di atas pelaminan, bahkan yang lebih parah saat kesakitan di ruang persalinan. Bagaimana kabarmu di sana? Malam ini ada rindu menyelinap untukmu. Di antara tumpukan kertas tugasku, kuselipkan surat rinduku untukmu. Surat cinta anakmu yang merindukanmu menggambarkan perjalanan setahunku dari 6 desember tahun sebelumnya ke 6 desember berikutnya. Toga baru, kampus baru, teman baru, guru baru, kota baru, buku baru, perasaan baru, persiapan menghadapi momen baru, sayangnya kau tak di sini menemaniku melewatinya. Ah, saya merindukanmu. Oiya, tak lupa kutitipkan rindu Bapak yang sudah tua dan ditemani tongkat, ketujuh kakak dan iparku, dan 3 bocah kecil kesayanganmu. Kakak-kakakku tidak melupakan janji mereka kepadamu, Ma untuk menyekolahkanku setinggi mungkin, bahkan hingga kini saat kuberusaha meraih toga ketigaku. Ma, kuselipkan satu nama baru, nama yang mungkin tak asing lagi bagimu. Dia menitip rindu buatmu. Salam rindu buatmu. Rindu yang tertahan selama tujuh tahun ini dan akan pecah jika suatu saat kita bertemu di hadapan-Nya. Al-fatihah untukmu, Ma.

Senin, 05 Agustus 2013

CONSCIENTIZACAO : Tujuan Pendidikan Paulo Freire

Jika berbicara mengenai pendidikan, kita tidak terlepas berbicara mengenai kondisi kekinian dari pendidikan yang ada. Pendidikan yang diatur sedemikian rupa oleh kebekuan birokrasi pelaksana pendidikan ditambah lagi oleh komersialisasi pendidikan yang semakin memperburuk citra pendidikan. Kondisi kekinian diperparah dengan munculnya sinetron-sinetron tidak mendidik yang mencitrakan uang adalah segalanya, kuis yang membuat histeris untuk mendapatkan uang tanpa kerja, media yang seakan haus akan sensasi, masyarakat yang tidak dapat bersuara karena telah lelah mengabdi kepada majikannya, serta parpol yang tidak edukatif. Kondisi-kondisi diatas inilah yang mengubah cara pandang seseorang mengenai tujuan dari pendidikan. Paulo Freire sendiri menegaskan Conscientizacao sebagai tujuan pendidikan. Conscientizacao bagi sebagian orang berarti kebanggaan etnis, atau aksi politik, atau penolakan terhadap penindasan. Conscientizacao digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan seorang individu bergerak dari kesadaran magis menuju kesadaran naif hingga sampai pada kesadaran kritis. Paulo Freire sendiri menjelaskan pendidikan sebagai praktek pembebasan—yang bertentangan dengan praktek dominasi—menolak bahwa manusia itu abstrak, terisolir, independen, dan tidak bersentuhan dengan dunia. Inti metode pendidikan Freire adalah dialog. Proses pendidikannya tidak bersifat teoretis. Proses ini tidak memaksakan dunia kepada individu, tetapi mendorong dua orang untuk mengamati dunia tersebut. Tugas pendidik adalah untuk mengajukan pertanyaan, menghadapkan siswa pada dunia, bukan menyediakan jawaban atau mendefenisikan dunia. ******************************************** Salah satu tujuan pendidikan adalah keadilan. Keadilan brasal dari fakta bahwa fase-fase perkembangan merupakan ukuran universalitas untuk menilai eksistensi manusia, karena keadilan berasal dari proses dialogis yang melahirkan pertumbuhan. Keadilan inilah yang mendorong pertumbuhan aktualisasi diri, intergrasi dan/atau conscientizacao, sedangkan ketidakadilan itu menghambat pertumbuhan. Buku ini merupakan sebuah studi yang pada tahun 1974, Fakultas Pendidikan Universitas Massachusetts memprakarsai proyek pendidikan non-formal di Ekuador yang menggunakan metode pendidikan Paulo Freire yang telah dimodifikasi. Buku ini memberikan cara mengoperasional ide-ide Freire mengenai conscientizacao sebagai tujuan dari pendidikan. Dalam buku ini terdapat sistem pengkodean dalam setiap tingkat kesadaran. Lensa konseptual yang digunakan adalah perkembangan konseptual yang memfokuskan pada 3 fase yaitu, kesadaran magis, naif, dan kritis. Tugas dari pendidikan perkembangan adalah membawa individu menjadi seseorang yang kritis. Tidak terdapat transfer informasi, tetapi menegosiasikan konsep seseorang dengan dunia. Masyarakat dengan kesadaran magis dicirikan dengan sikap bungkam, tangapan-tanggapan yang ringkas terhadap pertanyaan-pertanyaan kompleks, hubungan sebab-akibat yang sederhana, dan tidak ada kesalahan. Kesadaran naif dicirikan dengan sikap ingin menyerupai, penolakan terhadap diri sendiri sehingga sering menghinakan diri. Hal ini disebabkan internalisasi pandangan yang dijejalkan kepada mereka. Kesadaran kritis dicirikan dengan penafsiran yang dalam mengenai berbagai masalah, menolak sikap pasif, mengemukakan pendapat, mengedepankan dialog dibanding polemik, menerima pandanan baru bukan karena kebaruannya, tetapi menerima apa yang benar dari pandangan kuno dan baru. Asrini A. Saeni Senin, 5 Agustus 2013 (Tulisan ini hanya ringkasan mengenai buku yang sama dengan tulisan ini)

Jumat, 14 Juni 2013

Wajah Bank Syariah melalui kasus Purdi E. Chandra

Jumat pagi ini, seperti biasa, saya membuka Kompasiana. Banyak berita mengenai kepailitan dengan status PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang) Bapak Purdi E Chandra (pendiri bimbel Primagama) oleh pengadilan niaga Jakarta. Salah satunya adalah tulisan ini http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2013/06/13/kepailitan-purdi-echandra-momen-membuka-mata-568482.html. Membacanya sedikit demi sedikit, tapi kaget juga karena melihat ada perbincangan mengenai Bank Syariah yang menyindirkan ke-syariah-an bank syariah yang katanya bank syariah dengan label “syariah”nya hanya mau mengambil untung dengan prinsip bagi hasil tapi tidak mau menanggung rugi dari nasabah yang mengalami kerugian. Akhirnya saya searching mengenai kasus Bapak Purdi E Chandra dan Salah satu bank syariah. Kepailitan Bapak Purdi ini mencuat akibat gagalnya restrukturisasi pembiayaan oleh Salah satu bank syariah. “Perkara ini bermula dari pemberian fasilitas kredit dalam bentuk akad pembiayaan murabahah oleh Salah satu bank syariah kepada Purdi.Pemberian pembiayaan itu dilakukan pada 29 Agustus 2007 dengan jumlah Rp3,3 miliar dan 9 Mei 2008 senilai Rp20,9 miliar. Pembiayaan tersebut semestinya diangsur setiap akhir bulan. Namun, hingga permohonan PKPU diajukan Purdi tidak kunjung menyelesaikan kewajibannya. Pemohon PKPU, yaitu Salah satu bank syariah, sudah mengajukan somasi sebanyak tiga kali. Somasi ini dikirimkan pada 1 Desember 2011, 16 Desember 2011, dan 27 Desember 2011.” (sumber : http://www.bisnis-kti.com/index.php/2013/06/kasus-utang-duh-pendiri-primagama-ini-akhirnya-pailit/) Mari kita masuk dalam pembahasan akad syariah yang digunakan antara Salah satu bank syariah dan Bapak Purdi. Akad yang digunakan dalam pembiayaan adalah akad murabahah. Murabahah adalah suatu akad jual beli dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.(sumber : DSN MUI No.4/DSN-MUI/IV/2000). Harga yang dibayarkan oleh pihak Bapak Purdi adalah harga beli ditambah dengan margin yang telah ditetapkan dalam kontrak yang tidak berubah. Margin tidak berubah mengikuti suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Inilah yang membedakan dengan bank konvensional yang jumlah margin bisa saja berubah sesuai dengan ketetapan suku bunga yang dikeluarkan oleh BI. Hal yang perlu ditegaskan adalah murabahah sangat berbeda dengan mudharabah. Murabahah adalah akad jual beli dimana pihak debitur haruslah menyelesaikan dan menanggung semua konsekuensi dari pembiayaannya. Berbeda dengan mudharabah yang merupakan akad partnership dimana pihak debitur jika mengalami kerugian akan ditanggung oleh bank sebagai pihak pemberi dana. Dalam kasus ini, pihak Pak Murdi harus menyelesaikan utangnya kepada bank syariah. Inilah yang kurang dipahami oleh masyarakat dengan menganggap semua akad dalam bank syariah sama sehingga menimbulkan salah interpretasi dalam melihat masalah yang timbul. Kemudian menjadi suatu masalah adalah ketidakmampuan Bapak Purdi untuk menyelesaikan pembiayaan dengan pihak Salah satu bank syariah. Pemohon PKPU (Bank Salah satu bank syariah) tidak ingin berdamai dengan tidak merestrukturisasi pembiayaan Bapak Purdi hingga dinyatakan kepailitannya oleh Pengadilan Niaga. Yang menarik adalah pernyataan Kuasa Hukum Bapak Purdi, “Dia (kuasa hukum Bapak Purdi) mengatakan dalam perbankan syariah, jika nasabah tidak bisa membayar pinjaman yang diberikan maka harus diperpanjang sampai nasabah mampu membayar, dan bukannya langsung diajukan PKPU. Hal inilah yang membuat pihak Pudi berencana melapor ke MUI.” (sumber : http://www.bisnis-kti.com/index.php/2013/06/kasus-utang-duh-pendiri-primagama-ini-akhirnya-pailit/) Menurut saya, permohonan PKPU adalah tindakan yang logis setelah 3 kali somasi dan rentan waktu antara somasi akhir dan pemutusan PKPU cukup lama,sekitar 1,5 tahun. Asas musyawarah dalam penyelesaian masalah sudah dipenuhi dengan pemberian somasi. Status PKPU adalah jalan terakhir dalam penyelesaian pembiayaan akad murabahah ini. Dengan status PKPU, status Bapak Purdi menjadi jelas gagal bayar sehingga Fatwa DSN MUI NO. 47/DSN-MUI/II/2005 Tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar dapat dijalankan. Menurut fatwa ini, Lembaga Keuangan Syariah boleh melakukan penyelesaian (settlement) murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan: a. Obyek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada atau melalui LKS dengan harga pasar yang disepakati; b. Nasabah melunasi sisa utangnya kepada LKS dari hasil penjualan; c. Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang maka LKS mengembalikan sisanya kepada nasabah; d. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka sisa utang tetap menjadi utang nasabah; e. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya, maka LKS dapat membebaskannya. Pemahaman pribadi saya, opsi E tidak dilaksanakan karena Pak Purdi masih memiliki aset untuk menutupi utang murabahahnya. Hal yang harus diperhatikan baik-baik adalah masalah Etika Bisnis. Masyarakat selalu menuntut agar bank syariah memiliki etika bisnis yang baik karena bank syariah berlandaskan Islam. Akan tetapi, nasabah terkadang tidak memiliki etika bisnis yang baik dalam menyelesaikan masalah utang-piutangnya. Etika bisnis yang baik akan tercipta dengan hubungan reciprocal. Bank yang memiliki etika bisnis yang baik bukan berarti tidak dapat menuntut hak kan??? *mari mengomentari dan menambahkan kalo ada kurang :)