Jumat, 14 Juni 2013

Wajah Bank Syariah melalui kasus Purdi E. Chandra

Jumat pagi ini, seperti biasa, saya membuka Kompasiana. Banyak berita mengenai kepailitan dengan status PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang) Bapak Purdi E Chandra (pendiri bimbel Primagama) oleh pengadilan niaga Jakarta. Salah satunya adalah tulisan ini http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2013/06/13/kepailitan-purdi-echandra-momen-membuka-mata-568482.html. Membacanya sedikit demi sedikit, tapi kaget juga karena melihat ada perbincangan mengenai Bank Syariah yang menyindirkan ke-syariah-an bank syariah yang katanya bank syariah dengan label “syariah”nya hanya mau mengambil untung dengan prinsip bagi hasil tapi tidak mau menanggung rugi dari nasabah yang mengalami kerugian. Akhirnya saya searching mengenai kasus Bapak Purdi E Chandra dan Salah satu bank syariah. Kepailitan Bapak Purdi ini mencuat akibat gagalnya restrukturisasi pembiayaan oleh Salah satu bank syariah. “Perkara ini bermula dari pemberian fasilitas kredit dalam bentuk akad pembiayaan murabahah oleh Salah satu bank syariah kepada Purdi.Pemberian pembiayaan itu dilakukan pada 29 Agustus 2007 dengan jumlah Rp3,3 miliar dan 9 Mei 2008 senilai Rp20,9 miliar. Pembiayaan tersebut semestinya diangsur setiap akhir bulan. Namun, hingga permohonan PKPU diajukan Purdi tidak kunjung menyelesaikan kewajibannya. Pemohon PKPU, yaitu Salah satu bank syariah, sudah mengajukan somasi sebanyak tiga kali. Somasi ini dikirimkan pada 1 Desember 2011, 16 Desember 2011, dan 27 Desember 2011.” (sumber : http://www.bisnis-kti.com/index.php/2013/06/kasus-utang-duh-pendiri-primagama-ini-akhirnya-pailit/) Mari kita masuk dalam pembahasan akad syariah yang digunakan antara Salah satu bank syariah dan Bapak Purdi. Akad yang digunakan dalam pembiayaan adalah akad murabahah. Murabahah adalah suatu akad jual beli dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.(sumber : DSN MUI No.4/DSN-MUI/IV/2000). Harga yang dibayarkan oleh pihak Bapak Purdi adalah harga beli ditambah dengan margin yang telah ditetapkan dalam kontrak yang tidak berubah. Margin tidak berubah mengikuti suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Inilah yang membedakan dengan bank konvensional yang jumlah margin bisa saja berubah sesuai dengan ketetapan suku bunga yang dikeluarkan oleh BI. Hal yang perlu ditegaskan adalah murabahah sangat berbeda dengan mudharabah. Murabahah adalah akad jual beli dimana pihak debitur haruslah menyelesaikan dan menanggung semua konsekuensi dari pembiayaannya. Berbeda dengan mudharabah yang merupakan akad partnership dimana pihak debitur jika mengalami kerugian akan ditanggung oleh bank sebagai pihak pemberi dana. Dalam kasus ini, pihak Pak Murdi harus menyelesaikan utangnya kepada bank syariah. Inilah yang kurang dipahami oleh masyarakat dengan menganggap semua akad dalam bank syariah sama sehingga menimbulkan salah interpretasi dalam melihat masalah yang timbul. Kemudian menjadi suatu masalah adalah ketidakmampuan Bapak Purdi untuk menyelesaikan pembiayaan dengan pihak Salah satu bank syariah. Pemohon PKPU (Bank Salah satu bank syariah) tidak ingin berdamai dengan tidak merestrukturisasi pembiayaan Bapak Purdi hingga dinyatakan kepailitannya oleh Pengadilan Niaga. Yang menarik adalah pernyataan Kuasa Hukum Bapak Purdi, “Dia (kuasa hukum Bapak Purdi) mengatakan dalam perbankan syariah, jika nasabah tidak bisa membayar pinjaman yang diberikan maka harus diperpanjang sampai nasabah mampu membayar, dan bukannya langsung diajukan PKPU. Hal inilah yang membuat pihak Pudi berencana melapor ke MUI.” (sumber : http://www.bisnis-kti.com/index.php/2013/06/kasus-utang-duh-pendiri-primagama-ini-akhirnya-pailit/) Menurut saya, permohonan PKPU adalah tindakan yang logis setelah 3 kali somasi dan rentan waktu antara somasi akhir dan pemutusan PKPU cukup lama,sekitar 1,5 tahun. Asas musyawarah dalam penyelesaian masalah sudah dipenuhi dengan pemberian somasi. Status PKPU adalah jalan terakhir dalam penyelesaian pembiayaan akad murabahah ini. Dengan status PKPU, status Bapak Purdi menjadi jelas gagal bayar sehingga Fatwa DSN MUI NO. 47/DSN-MUI/II/2005 Tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar dapat dijalankan. Menurut fatwa ini, Lembaga Keuangan Syariah boleh melakukan penyelesaian (settlement) murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan: a. Obyek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada atau melalui LKS dengan harga pasar yang disepakati; b. Nasabah melunasi sisa utangnya kepada LKS dari hasil penjualan; c. Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang maka LKS mengembalikan sisanya kepada nasabah; d. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka sisa utang tetap menjadi utang nasabah; e. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya, maka LKS dapat membebaskannya. Pemahaman pribadi saya, opsi E tidak dilaksanakan karena Pak Purdi masih memiliki aset untuk menutupi utang murabahahnya. Hal yang harus diperhatikan baik-baik adalah masalah Etika Bisnis. Masyarakat selalu menuntut agar bank syariah memiliki etika bisnis yang baik karena bank syariah berlandaskan Islam. Akan tetapi, nasabah terkadang tidak memiliki etika bisnis yang baik dalam menyelesaikan masalah utang-piutangnya. Etika bisnis yang baik akan tercipta dengan hubungan reciprocal. Bank yang memiliki etika bisnis yang baik bukan berarti tidak dapat menuntut hak kan??? *mari mengomentari dan menambahkan kalo ada kurang :)